Sejarah Binongko
KAPITA WALOINDI
Kapita Waloindi lahir pada sekitar abad ke-16 dan wafat pada tahun 1680, dimakamkan di Desa Waloindi, sebuah desa kecil di Pulau Binongko bagian selatan. Masyarakat Desa Waloindi mengenalnya dengan nama La Ode Puridi, sementara masyarakat Kelurahan Wali menyebutnya dengan nama La Ode Wiridi. Ia juga disebut La Tambaga karena badannya yang kuat dan kebal seperti tembaga. Di Keraton Buton ia disebut La Ode Wiridi. Ayahnya bernama La Wulu Gio karena seluruh badannya berbuluh, kecuali telapak tangan dan kakinya. Tradisi lisan menuturkan bahwa ayahnya adalah seorang alim yang berguru kepada seorang Waliallah yang datang menemuinya secara gaib pada setiap malam Senin dan Jumat dan mengajarkan berbagai macam ilmu gaib. Ibunya bernama Wa Samanuru yang berasal dari Kesultanan Buton. Kesaktian, kesolehan, dan kearifan yang dimiliki Kapita Waloindi diturunkan dari ayahnya yang sakti, soleh, dan taat beribadah.
Sejarah mencatat pula bahwa asal Kapittan Pattimura adalah dari Binongko dikenal dengan nama La Mura, Ibunya bernama Wa Orokuwa. Dalam EYD "RUKUWA" sebagai salah satu desa di Binongko. Dahulu Ia merantau menggunakan Sampan menuju ke Ambon dan secara umum, dikenal sebagai Pahawan Nasional "Kapittan Pattimura". Bukti konkritnya ialah dari lembaran kertas uang seribu disitu terlihat jelas Pattimura memegang Parang bentuk Parang asli dari Binongko.
Semula Kapita Waloindi diutus oleh Sultan Buton untuk menjadi Lakina Kaedupa (Kaledupa) yang wlayahnya mulai dari Kapota dibagian barat sampai di Moromaho bagian timur atau meliputi seluruh gugusan Kepulauan Tukang Besi. Tetapi kegagalannya untuk dilantik menjadi Lakina Kaledupa serta sikap politik penguasa Buton yang mulai bekerjasama dengan Belanda yang dituangkan dalam perjanjian Schot-Elangi tanggan 5 Januari 1631, mengakibatkan ia mulai menanam benih-benih kebencian dan amarah terhadap penguasa Buton dan Belanda.
Terutama kepada VOC, kebencian itu bertambah ketika Perang Kapahaha (1634-1636) di Ambon yang mengakibatkan kebun cengkeh dan palah di ambil alih oleh VOC. Kebencian itu memuncak sampai ke ubun-ubun ketika ditandatangani perjanjian antara Buton dan VOC pada tanggal 31 Januari 1667 yang mewajibkan penebangan semua pohon cengkeh dan pala yang ada di Kepulauan Tukang Besi, terutama di Pulau Kaledupa dan Wangi-Wangi, dengan ganti rugi yang harus dibayar kepada Buton setiap tahun sebesar 100 ringgit. Dinyatakan dalam perjanjian itu pula, bahwa Pulau Binongko yang senantiasa menjadi perebutan antara Buton, Makassar, dan Ternate, dinyatakan langsung dan masuk dalam daerah kekuasaan kompeni Belanda. Karena perjanjian yang nyata-nyata sangat merugikan rakyat Kepulauan Tukan Besi itu, maka Kapita Waloindi mulai mempropagandakan semangat anti penjajahan dan menggerakkan perlawanan rakyat terhadap penguasa Buton dan VOC/Belanda.
Tradisi lisan menuturkan bahwa langkah pertama yang dilakukan Kapita Waloindi adalah memproklamirkan didirikannya sebuah kerajaan kecil yang lepas dari Buton. Wilayah kerajaan itu meliputi Pulau Kapota di bagian barat, Pulau Moromaho bagian timur, Pulau Runduma bagian utara, dan Pulau Komba-Komba bagian selatan. Kerajaan ini berpusat di Rukuwa Binongko di bawah pimpinan Kapita Waloindi. Dalam struktur pemerintahannya, La Soro diangkat sebagai patih, La Pungga dan La Makoro masing-masing sebagai hulubalang, La Mande sebagai nahkoda, La Manupassa sebagai Panglima Angkatan Laut, La Kapio-Pio sebagai Panglima Angkatan Darat, dan La Mata Meha sebagai tangan kanan Kapita Waloindi. Kerajaan kecil ini menjalin hubungan baik dengan Kesultanan Cirebon, Kerajaan Bima, dan seluruh masyarakat Binongko yang berada di Ambon.
Atas sikap Kapita Waloindi ini, oleh penguasa Buton dan VOC dianggap suatu pemberontakan, perlawanan dan pembangkangan yang secepatnya harus ditumpas habis. Untuk itu penguasa Buton dan VOC beberapa kali memobilisasi pasukannya menuju Binongko untuk menumpas pemberontakan Kapita Waloindi. Proses mobilisasi dan peperangan hingga bisa menaklukkan Kapita Waloindi berlangsung sebanyak empat kali dalam kurun waktu tujuh tahun (1673-1680) di masa pemerintahan Sultan Buton ke-11, Kaimuddin alias La Tangkaraja (1669-1680).
Dalam setiap serangan terhadap Kapita Waloindi, pasukan Buton selalu dipimpin oleh Sapati Baluwu dengan kekuatan 40 personil pasukan. Serangan pertama yang dilakukan pasukan Buton menggunakan perahu sope yang bernama Sanggar Gadi. Serangan dilakukan melalui rute Laut Lagano (Pasar Wajo). Serangan berhasil dipukul mundur oleh pasukan Kapita Waloindi, 40 personil pasukan Buton dibunuh dan berhasil menenggelamkan perahu mereka.
Serangan kedua, sebagaimana serangan pertama, juga dipimpin oleh Sapati Baluwu dengan kekuatan 40 personil pasukan ditambah dengan beberapa orang serdadu VOC. Namun untuk kedua kalinya Buton gagal, seluruh personilnya berhasil dibunuh termasuk Anthoni Rheebook dan para serdadunya yang dikirim untuk memperkuat pasukan Buton menyerang Kapita Waloindi. Rheebook dan pasukannya dimakamkan dilereng Gunung Palahidu. Serangan ketiga sebagaimana serangan-serangan sebelumnya tetap mengalami kegagalan. Akan tetapi, dalam serangan ketiga ini, Sapati berhasil lolos dan melarikan diri ke Pulau Kaledupa. Dari sini ia menyusun kekuatan dan strategi untuk melakukan serangan yang keempat kalinya. Kali ini Sapati menerima petunjuk dari Sultan Kaimuddin (La Tangkaraja) bahwa serangan harus dilakukan dengan cara mengambil rute perjalanan dari Tanjung Kaledupa (Lokomasumbu) menuju arah barat kemudian belok kearah timur menuju Tomia kemudian terus ke Binongko. Perjalanan ini tidak dapat dipantau oleh La Mata Meha yang bertugas khusus memantau serangan-serangan Buton yang datang dari arah barat.
Akhirnya dalam serangan keempat, pasukan Buton berhasil mendarat di Pulau Binongko dan perang terbuka pun tak dapat dihindari. Dalam peperangan itu kedua belah pihak kehilangan pasukan. Untuk menghindari korban yang lebih banyak, Kapita Waloindi memerintahkan kepada seluruh masyarakat untuk mengungsi ke luar Pulau Binongko. Sejak itu mulai terjadi gelombang perpindahan penduduk secara besar-besaran ke Maluku, Nusa Tenggara, pulau-pulau di sekitar Pulau Selayar, dan pulau-pulau lainnya di nusantara.
Dalam peristiwa serangan yang keempat kali itu terjadi perang tanding antara Sapati Baluwu dengan Kapita Waloindi. Sapati Baluwu mengeluarkan jurus Ilmu Kawao ( Ilmu Bisul) yang mengenai seluruh pergelangan tubuh Kapita Waloindi sehingga ia tidak bias bergerak, namun ia balas dengan ilmu kebalnya sehingga perlawanan terus berlangsung. Perkelahian antara dua orang sakti ini tidak membawa hasil apa-apa karena sama kuat dan saling tak terkalahkan. Untuk mengakhiri peperangan, keduanya pun membuat kesepakatan bahwa apabila Sapati Baluwu mau berjanji untuk tidak menguasai Pulau Binongko maka Kapita Waloindi akan merelakan dirinya untuk dibunuh, namun apabila janji itu dilanggar maka Sapati Baluwu tidak akan selamat sampai ke tanah Buton. Kesepakatan ini disetujui Sapati Baluwu dan Kapita Waloindi pun memberitahukan kelemahannya bahwa apabila ibu jari kaki kiri Kapita Waloindi dibelah maka ia akan mati. Akhirnya ibu jarinya dibelah oleh Sapati Baluwu dan Kapita Waloindi pun meninggal dunia. Peristiwa ini terjadi pada sekitar tahun 1680.
Namun ternyata Sapati Baluwu melanggar janjinya. Ia melaporkan kepada Sultan bahwa Kapita Waloindi telah berhasil dibunuh dan Pulau Binongko telah jatuh ke tangan penguasa Buton. Karena itu, menurut keyakinan orang Binongko, dalam perjalanan menuju Pulau Buton perahu yang ditumpangi Sapati Baluwu terhempas badai di Pulau Tadu Sampalu antara Pulau Tomia dan Binongko. Dalam peristiwa itu Sapati Baluwu meninggal, bersama perahunya ia terhempas badai dan jasadnya terdampar dan dikebumikan di Pulau Binongko. Tanah Binongko seolah tidak relah dihianati seorang pembesar Kesultanan Buton. Tradisi lisan menuturkan bawha di sebuah tanjung di bagian selatan Pulau Binongko yang dinamakan tadu, diduga tempat terdamparnya Sapati Baluwu dan pasukannya, dilarang mengucapkan symbol-simbol Kesultanan Buton seperti Bahasa Wolio dan sebagainya ketika sedang berada atau melewati tempat itu. Jika itu terjadi maka menurut kepercayaan masyarakat setempat yang bersangkutan akan mengalami suatu musibah.
Semasa hidupnya Kapita Waloindi telah menunjukkan sikap tegasnya untuk melawan penjajah Belanda yang pada saat itu sudah mempengaruhi Kesultanan Buton. Untuk mempertahankan Pulau Binongko dari berbagai ancaman yang datang dari luar seperti bajak laut Tobelo, Buton, dan VOC, maka Kapita Waloindi berhasil mendirikan beberapa benteng pertahanan di Waloindi, Oihu, Wali, dan Palahidu. Ia juga sering mengecoh lawan dengan menggunakan “ilmu terbang” yang mudah berpindah dari satu tempat ketempat lainnya. Untuk menggelabui lawan, ia sering menggunakan ilmu pibuni kampo (menghilangkan sebuah kampong). Tradisi lisan menuturkan bahwa di Binongko ada sebuah kampong yang sewaktu-waktu muncul kemudian hilang kembali yaitu kampong Watampida. Kampung ini menghilang karena bersumpah tidak ingin diperintah oleh Buton dan VOC.
Untuk memperkuat pertahanannya, Kapita Waloindi pun menjalin hubungan baik dengan kekuatan asing seperti EIC (Inggris), Kesultanan Cirebon, dan Kerajaan Bima untuk mendapatkan dukungan dan memperoleh alat-alat perang.
Setelah berperang selama kurang lebih tujuh tahun (1673-1680) melawan Buton dan VOC dengan penuh gagah berani, akhirnya beberapa orang pengikutnya melarian diri ke Ambon untuk melanjutkan perjuangan melawan Belanda disana. Mereka antara lain adalah La Soro, La Pungga, yang biasa di gelar Anthoni Reebook, La Mande, dan La Manupasa. Salah seorang yang mewarisi semangat perjuangan Kapita Waloindi adalah La Mura yang diyakini oleh orang Binongko sebagai Pattimura yang mengobarkan api perjuangan melawan Belanda di Binongko pada awal abad ke-19. Menurut penulis dari Belanda yang bernama F. de Houtman dalam bukunya yang berjudul Het Adat Gronden Recht van Ambon en Uliase menyebutkan bahwa Matulessi Kapitan Pattimura diduga adalah pelarian dari Perang Waloindi II pada awal abad ke-19. Dalam suratnya kepada Gubernur Belanda dinyatakan bahwa ada seorang penjahat perang dari Waloindi telah lolos ke wilayah timur di daerah Tual (Ambon). Jika sumber ini benar maka betapa hebatnya Kapita Waloindi itu, ia berhasil membina dan menanamkan semangat perjuangan melawan imperialism dan kolonialisme terhadap beberapa pejuang yang kemudia melakukan perlawanan di Ambon. Di antara mereka ada yang kemudian dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional yang berasal dari Maluku, yakni Pattimura. Ini tentunya masih memerlukan penelitian dan pengkajian lebih lanjut dengan sumber-sumber sejarah yang lebih otentik dan kredibel.
Demikian sekilas perjuangan Kapita Waloindi yang terpaksa melawan penguasa Buton karena telah bekerja sama dengan Belanda yang diperkuat dengan berbagai perjanjian persahabatan yang sesungguhnya merugikan rakyat Buton pada umumnya serta rakya Binongko khususnya. Pengorbanannya sampai titik darah penghabisan merupakan bukti nyata membela kebenaran dan Hak Asasi Manusia, bukti nyata melawan segala bentuk penjajahan yang tidak berperikemanusiaan itu dan merendahkan harkat dan martabat orang-orang pribumi. Karena itu sudah sepantasnya ia berada pada jajaran tokoh-tokoh pejuang Sulawesi Tenggara yang telah mengharumkan nama daerah ini.
Sumber :
Ali Hadara, dkk. 2007. Profil Pejuang Sulawesi Tenggara dari Masa Penjajahan Hingga Pasca Kemerdekaan. Kendari : BARISDA SULTRA-LP UHO.
Muhammad Tahir, umur 49 tahun, pekerjaan wiraswata, alamat Desa Waloindi, Kecamatan Binongko, Wakatobi, informan Kapita Waloindi, wawancara di Desa Waloindi tanggal 3 September 2006.
Ibrahim, umur 72 tahun, pekerjaan wiraswata, alamat Desa Waloindi, Kecamatan Togo Binongko, Wakatobi, informan Kapita Waloindi, wawancara di Desa Waloindi tanggal 3 September 2006.
La Joni, 32 tahun, Sekretaris Desa Waloindi, alamat Desa Waloindi, Kecamatan Togo Binongko, Wakatobi, informan Kapita Waloindi, wawancara di Desa Waloindi tanggal 3 September 2006.
La Hasimura, umur 61 tahun, Kepala Dusun Desa Hakka, Kecamatan Togo Binongko, Wakatobi, informan Kapita Waloindi, wawancara di Desa Hakka tanggal 3 September 2006.
Posting Komentar
0 Komentar