Oleh: Janitra Lituhayu


“Tidak pernah naik kereta api dan belum pernah ke kebun teh, apa itu terdengar aneh?”


Dia ketawa.


“Ada yang pernah naik kereta api dan sering mengunjungi kebun teh, tapi tidak pernah punya pengalaman sebanyak kamu. Apa itu juga terdengar aneh?”


Dia balik bertanya.


“Beberapakali pulang ke Jawa, tidak pernah punya kesempatan melakukan itu. Padahal rel kereta di depan rumah, kebun teh juga tak jauh dari kaki Lawu.”


“Tak apa, Je. Lagipula kita tinggal di Borneo. Memang tak ada kereta api di sini. Kebun teh, apalagi. Jalan tol saja masih wacana.”


Saya pernah punya keinginan naik kereta api bersama seseorang. Ketika kereta berangkat, saya ingin seseorang itu bercerita tentang tempat-tempat. Saya juga ingin menulis selama di perjalanan. Tulisan singkat yang tidak saya buat-buat. Mungkin puisi, mungkin sajak, mungkin juga hanya kata-kata yang manis tentang seseorang yang bersama saya.


“Suatu hari nanti, jika di sini ada kereta api, aku yang pertama membeli tiketnya.”


Sekali lagi dia ketawa.


“Aku yang kedua.”


“Artinya, kita bepergian bersama?”


Kali ini dia tersenyum.


“Kamu pasti butuh seseorang selama di perjalanan.”


“Untuk apa? Aku bisa melakukan apa pun sendirian. Banyak sekali perjalanan yang sudah kulalui seorang diri.”


“Untuk memijit pelipismu saat kamu mabuk, misalnya. Payah!”


Meski terlihat kesal, tapi kemudian kami sama-sama tertawa. Dia berjanji akan pergi bersama saya ke mana pun saya suka, bahkan jika itu ke ujung dunia, katanya. Gombal!